Dengan tak dapat menahan air liur melihat rampasan perang itu, kepada satu sama lain mereka berkata:
"Kenapa kita masih tinggal disini juga dengan tidak ada apa-apa. Tuhan telah menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu, sudah merebut markas musuh. Kesanalah juga kita, ikut mengambil rampasan itu."
Yang seorang lagi tentu menjawab:
"Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempat kita ini? Sekalipun kami diserang janganlah kami dibantu."
Yang pertama berkata lagi:
"Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal disini terus-menerus, setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu."
Lalu mereka berselisih. Ketika itu juga tampil Abdullah bin Jubair berpidato agar pasukan panah itu tidak melanggar perintah Rasul. Tetapi mereka sebahagian besar tidak patuh. Mereka berangkat juga. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja, tidak sampai sepuluh orang. Seperti kesibukan Muslimin yang lain, mereka yang ikut bergegas itu pun sibuk pula dengan harta rampasan.
Pada waktu itulah Khalid bin Walid mengambil kesempatan - dia sebagai komandan kavaleri Quraisy Mekah - pasukannya dikerahkan ke tempat pasukan pemanah, dan mereka inipun berhasil dikeluarkan dari sana.
Tindakan ini tidak disadari oleh pihak Muslimin. Mereka sangat sibuk untuk memperhatikan soal itu atau soal apapun, karena sedang menghadapi harta rampasan perang yang mereka keduk habis-habisan itu, sehingga tiada seorangpun yang membiarkan apa saja yang dapat mereka ambil. Sementara mereka sedang dalam keadaan serupa itu, tiba-tiba Khalid bin'l-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan sekaligus pihak Quraisypun mengerti, bahwa ia telah dapat membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur sekarang kembali lagi maju dan mendera Muslimin dengan pukulan maut yang hebat sekali. Di sinilah giliran bencana itu berbalik. Setiap Muslim telah melemparkan kembali hasil renggutan yang sudah ada di tangan itu, dan kembali pula mereka mencabut pedang hendak bertempur lagi.
Tetapi sayang, sayang sekali! Barisan sudah tidak kokoh lagi, persatuan sudah pecah-belah, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan Muslimin telah dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang tadinya berjuang dengan perintah Tuhan hendak mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri dari cengkaman maut, dari lembah kehinaan. Mereka yang tadinya berjuang dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang dengan bercerai-berai. Tak tahu lagi haluan hendak kemana. Tadinya mereka berjuang di bawah satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa pimpinan lagi.
Jadi tidak heran, apabila ada seorang Muslim menghantamkan pedangnya kepada sesama Muslim dengan tiada disadarinya.
Dalam pada itu terdengar pula ada suara orang berteriak-teriak, bahwa Muhammad sudah terbunuh. Keadaan makin panik, makin kacau-balau. Kaum Muslimin jadi berselisih, jadi saling bunuh-membunuh, satu sama lain saling hantam-menghantam, dengan tiada mereka sadari lagi karena mereka sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum Muslimin telah membunuh sesama Muslim, Husail b. Jabir membunuh Abu Hudhaifa karena sudah tidak diketahuinya lagi. Yang paling penting bagi setiap Muslim ialah menyelamatkan diri; kecuali mereka yang telah mendapat perlindungan Allah, seperti Ali b. Abi Thalib , Umar ra, Abu Bakar, Abu Dujannah, dan sahabat lain yang keimanan mereka spt baja yg tidak ada tandingannya.
Akan tetapi begitu Quraisy mendengar Muhammad telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke jurusan tempat dia tadinya berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peranan didalamnya, suatu hal yang akan dibanggakan oleh generasi kemudian, dan satu kebanggaan yang tidak ada taranya apabila mereka berhasil membunuh Muhammad.
Ketika itulah Mujahid dan sahabat yang dekat sekali dengan Nabi bertindak mengelilinginya, menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah kembali memenuhi jiwa, mereka kembali mendambakan mati, dan hidup duniawi ini dirasanya sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar, keberanian mereka makin bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraisy itu telah mengenai diri Nabi. Gigi gerahamnya pecah setelah terkena lemparan, wajahnya pecah-pecah dan bibirnya luka-luka. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpanya itu dilemparkan oleh 'Utba b. Abi Waqqash.
Tidak dapat di bayangkan ambisi yg sangat besar dari kaum kafir untuk membunuh Nabi, ratusan pedang, tombak dan panah tertuju kepada Muhammad, serangan saling berganti, seorg penunggang kuda Quraisy menghantam bahu Muhammad yg dilapisi baju besi, sehingga nabi merasakan sakit dari serangan itu sehingga berhari-hari.
Melihat Musuh tertuju kearah nabi, para sahabat dan kaum muslimin juga berambisi yang tidak kala agungnya dari ambisi kaum Quraisy, cuma ambisi sahabat adalah bagaimana Nabi selamat dari serangan yg begitu hebat, Dunia di hati mereka sudah di kunci rapat-rapat, kerinduan mati di medan jihad sudah merasuki mereka, bau-bau shurga telah tercium. tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi anak istri, tidak adalagi usaha-usaha duniawi dan hewan ternak serta tidak ada lagi ladang-ladang yg selama ini mereka cintai, semuanya telah dubuang jauh dari hati dan pikirin mereka. hanya satu tujuan bagaimana rasulullah lepas dari bahaya dan serangan yg datang.
Atas semangat juang para sahabat, Sekarang Rasul dapat menguasai diri. Ia berJalan sambil dikelilingi oleh sahabat-sahabat. Tetapi tiba-tiba ia terperosok kedalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh Abu 'Amir guna menjerumuskan kaum Muslimin. Cepat-cepat Ali b. Abi Talib menghampirinya, dipegangnya tangannya, dan Talha bin 'Ubaidillah mengangkatnya hingga ia berdiri kembali (Maaf wahai saudaraku, bersedihlah, menangislah bila perlu, tidakkah kalian mau berselawat denganku "Allahu ma sholi ala Muhammad"). Ia meneruskan perjalanan dengan sahabat-sahabatnya itu, terus mendaki Gunung Uhud, dan dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh...
0 komentar:
Posting Komentar